Monday, July 23, 2012

Bab VIII. Distribusi Pendapatan


Struktur Produksi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Pertumbuhan ekonomi mempunyai arti penting. Petumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunanekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun.
Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambhana pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan penigkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus-menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB, yang berarti peningkatan PN.

Konsep Pendapatan Nasional mempunyai dua arti yaitu:
Ø  Dalam arti sempit: Pendapatan Nasional adalah Pendapatan Nasional
Ø  Dalam arti luas: Pendapatan Nasional dapat merujuk ke Produk Domestik Bruto atau merujuk ke produk nasional bruto (PNB), atau ke produk nasional neto (PNN).

Perhitungan PN diawali dengan perhitungan PDB. Hubungan antara PDB dan PN dapat dijelaskan melalui beberapa persamaan sederhana sebagai berikut:
1.      PNB         = PDB + F
2.      PNN        = PNB – D
3.      PN           = PNN –Ttl
      Keterangan:
F = pendapatan neto atas faktor luar negeri                    Ttl = pajak tak langsung neto
D = penyusutan
Jika tiga persamaan di atas di gabungkan, akan memperoleh persamaan sebagai berikut:
PDB = PN + Ttl + D – F atau PN = PDB +F - D –Ttl

PDB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Dua pendekatan pertama tersebut adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran adalah perhitungan PDB dari sisi permintaan agregar. Sumber-sumber pertumbuhan dapat bersumber dari pertumbuhan permintaan agragat (AD) atau dan pertumbuhan penawaran agregat (AS).
Teori-teori dan model-model pertumbuhan perekonomian seperti Teori Klasik, Teori Neo-Keynes, Teori Neo-Klasik dan Teori Modern. Di dalam teori klasik ada dua aliran pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari sisi AS/produksi yaitu teori klasik dan teori modern dan diantara kedua ini, teori neo-keynes dan teori neo-klasik. Dasar pemikiran teori klasik adalah pembangunan ekonomi yang dilandasi oleh sistem Liberal, yang manapertumbuhan ekonomi di pacu oleh semangat untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
Beberapa teori klasik terdapat disini yaitu sebagai berikut:
1. Teori Pertumbuhan Adam Smith, di dalam teori ini terdapat tiga faktor penentu proses produksi/pertumbuhan, yaitu SDA, SDM, dan barang modal.
2.      Teori Pertubuhan David Ricardo, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh SDA (dalam arti tanah) yang terbatas jumlahnya, dan jumlah penduduk yang menghasilkan jumlah tenaga kerja yang menyesuaikan diri dengan tingkat upah. Menurut David Ricardo pertanian adalah sektor utama sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
3.    Teori Pertumbuhan dari Thomas Robert Malthus, menurutnya, ukuran keberhasilan pembangunan suatu perekonomian adalah kesejahteraan Negara, yakni jika PNB potensialnya meningkat. Sektor yang paling dominan adalah sektor industri dan pertanian. Jika output di kedua sektor itu di tingkatkan, maka PNB potensialnya akan bisa di tingkatkan. Menurut Thomas Robert Malthus ada dua faktor yang sangat menentukan pertumbuhan yaitu faktor ekonomi seperti tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi; dan juga faktor nonekonomis seperti keamanan atas kekayaan, konstitusi dan hukum yang pasti, etos kerja dan disiplin pekerja yang tinggi. tetapi, diantara faktor tersebut yang paling berpengaruh adalah faktor akumulasi modal.
4.      Teori Marx, membuat lima tahapan perkembangan sebuah perekonomian yaitu:
a)         Perekonomian komunal priminif
b)         Perekonomian perbudakan
c)         Perekonomian feodal
d)        Perekonomian kapitalis
e)         Perekonomian sosialis.

Teori selanjutnya yaitu tentang teori Neo-Keynes, model pertumbuhan yang di dalam kelompok teori Neo-Keynes adalah model daro Harrod dan Domar yang mencoba memeperlus teori keynes mengenai keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangaka panjang dengan menlihat pengaruh dari investasi, baik pada AD maupun pada perluasan kapasitas produksi AS, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya yaitu mengenai Teori Neo-Klasik. Pemikiran dari teori ini didasarkan pada kritik atas kelemahan-kelemahan atau penyempurnaan terhadap pandangan/asumsi dari teori klasik. Beberapa model teori ini adalah sebagai berikut yaitu:
1.      Model Pertumbuhan A.Lewis
2.      Model Petumbuhan Paul A.Baran
3.      Teori Ketergantungan Neokolonial
4.      Model Pertumbuhan WW.Rostow
 Kemudian Teori Modern, dari teori-teori yang di bahas dia atas kurang dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang sejak tahun 1950-an di banyak negara di dunia yang kenyataannya pertumbuhan tersebut tidak sepenuhnya hanya dodorong olah akumulasi modal dan penambahan jumlah tenaga kerja,, tetapi juga disebabkan oleh peningkatan produktifitas dari kedua faktor tersebut.
Setelah melihat teori-teori di atas kita akan melihat kondisi pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan orde baru (sebelum krisis ekonomi 1997) dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami suatu proses dalam pembanguna ekonomi yang spektakuler, paling tidak pada tingkat makro (agregat). Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah indikator ekonomi makro. Tetapi, pada sekarang ini pemerataan dalam konteks Pembangunan Ekonomi Indonesia kurang merata karena semakin banyak saja masyarakat khususnya Indonesia yang masih kekurangan dalam faktor pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

A.       Indikator distribusi pendapatan
Sudah merupakan suatu fakta umum dibanyak negara berkembang, terutama Negara-negara proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti indonesi, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula. Sebagai dasar dari kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalah salah satu metode statik yang umum digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini.
Selain koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga sering dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia:
·         Penduduk dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a)      Penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari jumlah penduduk
b)      Penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan 40% dari jumlah penduduk
c)      Penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20% dari jumlah penduduk.
·         Selanjutnya ketidak merataan pendapatan disuatu ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah.

B.        Perubahan distribusi pendapatan
Perhitungan distribusi pendapatan di Indonesia menggunakan data survei social ekonomi nasional (susenas) pada tahun 1984, 1987, 1990, 1993. Data pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikumpulakan oleh susenas digunakan sebagai pendekatan (proxy) untuk mengukur distribusi pendapatan penduduk di Indonesia. Karena pengertian pengeluaran konsumsi tidak sama dengan pengertian kekayaan, perbedaan konsep ini menjadi kendala serius dalam mengukur secara akurat tingkat dan distribusi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena bisa saja seseorang tidak punya pekerjaan (pendapatan), tetapi sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak pengusaha muda dari tingkat pendapatanya tidak terlalu berlebihan, tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan tempat mereka bekerja adalah milik mereka (orang tuanya).
Penggunaan data pengeluaran konsumsi rumah tangga akan menghasilkan data pendapatan yang underestimate karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsi juga besar, berarti ada tabungan. Dalam hal ini belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau bahkan untuk liburan.
Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara agregat atau perkapital, tetapi juga dilihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat ini yang mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang mendukung pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program keluarga berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.
Menurut kriteria Bank Dunia, secara umum tingkat kesenjangan dalam distibusi pendapatan di Indonesia selama kurun waktu 1984-1993 tergolong rendah, baik didaerah pedesaan maupun daerah perkotaan yang ditunjukan oleh besarnyapersentase pendapatan yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan rendah. Bagi kelompok penduduk 20% berpendapatan tinggi, besar pendapatanya yang diterima justru mengalami penurunan. Penurunan pangsa pendapatan ini karena laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 40% berpendapat rendah dan 40% berpendapat menengah lebih besar dari pada laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 20% berpendapat tinggi.
Tingkat pemerataan pendapatan di daerah pedesaan yang relatif lebih baik dari pada didaerah perkotaan juga terjadi hamper disemua propinsi di Indonesia. Semakin buruknya distribusi pendapatan di daerah perkotaan dibandingkan didaerah pedesaan terutama disebabkan oleh pola perekonmian dan jumlah serta kondisi sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi sangat berbeda antara pedesaan dan perkotaan. Dikota, Jakarta misalnya persaingan dalam dunia usaha dan dalam mendapatkan pekerjaan semakin keras. Jumlah manusia di Jakarta semakin banyak, diperkirakan sekitar sepuluh juta orang, yang sebagian disebabkan oleh orang-orang yang terus datang ke Jakarta terutama yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Sementara kemanapun ekonomi Jakarta untuk memberi pekerjaan bagi pencari kerja yang bertambah jumlahnya setiap tahun terbatas.
Terjadi perpindahan surplus tenaga kerja dari desa ke kota. Mereka tidak bisa ditampung disektor formal akhirnya masuk ke sector informal yang pada umumnya merupakan kegiatan ekonomi dengan tingkat produktivitas dan pendapatan rendah. Karena terlalu banyak orang yang mau bekerja disektor formal, sedangkan daya tampung sektor tersebut terbatas maka semakin berat seleksi penerimaan pekerja. Pendidikan atau keterampilan khusus menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi tenaga kerja disektor formal. Jumlah penganggruan, terutama setengah pengangguran, semakin tinggi, dan kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mempunyai kesempatan bekerja disektor formal dan kelompok masyarakat yang hanya bisa bekerja disektor informal atau yang tidak memiliki pekerjaan semakin besar.

No comments:

Post a Comment