Struktur Produksi, Distribusi
Pendapatan dan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi mempunyai arti
penting. Petumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi
utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunanekonomi dan peningkatan
kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan
sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka
dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun.
Selain dari sisi permintaan
(konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan
pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa
dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan
dalam pembagian dari penambhana pendapatan tersebut (ceteris paribus),
yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan
peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu
sendiri hanya bisa dicapai dengan penigkatan output agregat (barang dan
jasa) atau PDB yang terus-menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan
ekonomi adalah penambahan PDB, yang berarti peningkatan PN.
Konsep Pendapatan Nasional mempunyai
dua arti yaitu:
Ø Dalam arti sempit: Pendapatan Nasional
adalah Pendapatan Nasional
Ø Dalam arti luas: Pendapatan Nasional
dapat merujuk ke Produk Domestik Bruto atau merujuk ke produk nasional bruto
(PNB), atau ke produk nasional neto (PNN).
Perhitungan
PN diawali dengan perhitungan PDB. Hubungan antara PDB dan PN dapat dijelaskan
melalui beberapa persamaan sederhana sebagai berikut:
1. PNB =
PDB + F
2. PNN =
PNB – D
3. PN =
PNN –Ttl
Keterangan:
F = pendapatan neto atas faktor luar negeri Ttl = pajak tak langsung neto
D = penyusutan
F = pendapatan neto atas faktor luar negeri Ttl = pajak tak langsung neto
D = penyusutan
Jika tiga persamaan di atas di
gabungkan, akan memperoleh persamaan sebagai berikut:
PDB = PN + Ttl + D – F
atau PN
= PDB +F - D –Ttl
PDB dapat
diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan
pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Dua pendekatan pertama tersebut adalah
pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran adalah
perhitungan PDB dari sisi permintaan agregar. Sumber-sumber pertumbuhan dapat
bersumber dari pertumbuhan permintaan agragat (AD) atau dan pertumbuhan
penawaran agregat (AS).
Teori-teori
dan model-model pertumbuhan perekonomian seperti Teori Klasik, Teori
Neo-Keynes, Teori Neo-Klasik dan Teori Modern. Di dalam teori klasik
ada dua aliran pemikiran mengenai pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari sisi
AS/produksi yaitu teori klasik dan teori modern dan diantara kedua ini, teori
neo-keynes dan teori neo-klasik. Dasar pemikiran teori klasik adalah
pembangunan ekonomi yang dilandasi oleh sistem Liberal, yang manapertumbuhan
ekonomi di pacu oleh semangat untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
Beberapa
teori klasik terdapat disini yaitu sebagai berikut:
1. Teori
Pertumbuhan Adam Smith, di
dalam teori ini terdapat tiga faktor penentu proses produksi/pertumbuhan, yaitu
SDA, SDM, dan barang modal.
2.
Teori
Pertubuhan David Ricardo,
pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh SDA (dalam arti tanah) yang terbatas
jumlahnya, dan jumlah penduduk yang menghasilkan jumlah tenaga kerja yang
menyesuaikan diri dengan tingkat upah. Menurut David Ricardo pertanian adalah
sektor utama sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.
3. Teori
Pertumbuhan dari Thomas Robert Malthus, menurutnya, ukuran keberhasilan pembangunan suatu
perekonomian adalah kesejahteraan Negara, yakni jika PNB potensialnya
meningkat. Sektor yang paling dominan adalah sektor industri dan pertanian.
Jika output di kedua sektor itu di tingkatkan, maka PNB potensialnya akan bisa
di tingkatkan. Menurut Thomas Robert Malthus ada dua faktor yang sangat
menentukan pertumbuhan yaitu faktor ekonomi seperti tanah, tenaga kerja, modal
dan organisasi; dan juga faktor nonekonomis seperti keamanan atas kekayaan,
konstitusi dan hukum yang pasti, etos kerja dan disiplin pekerja yang tinggi.
tetapi, diantara faktor tersebut yang paling berpengaruh adalah faktor
akumulasi modal.
4.
Teori
Marx, membuat
lima tahapan perkembangan sebuah perekonomian yaitu:
a)
Perekonomian
komunal priminif
b)
Perekonomian
perbudakan
c)
Perekonomian
feodal
d)
Perekonomian
kapitalis
e)
Perekonomian
sosialis.
Teori selanjutnya yaitu tentang
teori Neo-Keynes, model pertumbuhan yang di dalam kelompok teori Neo-Keynes
adalah model daro Harrod dan Domar yang mencoba memeperlus teori keynes
mengenai keseimbangan pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangaka panjang
dengan menlihat pengaruh dari investasi, baik pada AD maupun pada perluasan
kapasitas produksi AS, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Selanjutnya yaitu mengenai Teori
Neo-Klasik. Pemikiran dari teori ini didasarkan pada kritik atas
kelemahan-kelemahan atau penyempurnaan terhadap pandangan/asumsi dari teori
klasik. Beberapa model teori ini adalah sebagai berikut yaitu:
1. Model Pertumbuhan A.Lewis
2. Model Petumbuhan Paul A.Baran
3. Teori Ketergantungan Neokolonial
4. Model Pertumbuhan WW.Rostow
Kemudian
Teori Modern, dari teori-teori yang di bahas dia atas kurang dapat
menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang sejak tahun 1950-an di banyak negara di
dunia yang kenyataannya pertumbuhan tersebut tidak sepenuhnya hanya dodorong
olah akumulasi modal dan penambahan jumlah tenaga kerja,, tetapi juga
disebabkan oleh peningkatan produktifitas dari kedua faktor tersebut.
Setelah melihat teori-teori di atas kita akan melihat kondisi
pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan orde baru (sebelum krisis
ekonomi 1997) dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami suatu proses
dalam pembanguna ekonomi yang spektakuler, paling tidak pada tingkat makro (agregat).
Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah indikator ekonomi makro. Tetapi,
pada sekarang ini pemerataan dalam konteks Pembangunan Ekonomi Indonesia kurang
merata karena semakin banyak saja masyarakat khususnya Indonesia yang masih
kekurangan dalam faktor pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
A.
Indikator distribusi pendapatan
Sudah merupakan suatu fakta umum dibanyak negara berkembang,
terutama Negara-negara proses pembangunan ekonomi yang sangat pesat seperti
indonesi, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibarengi dengan tingkat
kesenjangan ekonomi atau kemiskinan yang tinggi pula. Sebagai dasar dari
kerangka pemikiran untuk menganalisis masalah trade-off antara pertumbuhan dan
kemiskinan atau kesenjangan ekonomi adalah salah satu metode statik yang umum
digunakan untuk mengetimasi sejauh mana pencapaian tingkat kemerataan dalam
distribusi pendapatan atau pengurangan kesenjangan ekonomi dalam suatu proses
pembangunan ekonomi adalah mengukur nilai koefesien atau rasio gini.
Selain koefesien gini, pengukuran pemerataan pendapatan juga
sering dilakukan berdasarkan kriteria bank dunia:
·
Penduduk dikelompokan menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a)
Penduduk dengan pendapatan rendah yang merupan 40% dari
jumlah penduduk
b)
Penduduk dengan berpendapatan menengah yang merupakan
40% dari jumlah penduduk
c)
Penduduk yang berpendapatan tinggi yang merupakan 20%
dari jumlah penduduk.
·
Selanjutnya ketidak merataan pendapatan disuatu
ekonomi diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan
pendapatan rendah.
B.
Perubahan
distribusi pendapatan
Perhitungan distribusi pendapatan
di Indonesia menggunakan data survei social ekonomi nasional (susenas) pada
tahun 1984, 1987, 1990, 1993. Data pengeluaran konsumsi rumah tangga yang
dikumpulakan oleh susenas digunakan sebagai pendekatan (proxy) untuk mengukur
distribusi pendapatan penduduk di Indonesia. Karena pengertian pengeluaran
konsumsi tidak sama dengan pengertian kekayaan, perbedaan konsep ini menjadi
kendala serius dalam mengukur secara akurat tingkat dan distribusi
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Karena bisa saja seseorang tidak punya
pekerjaan (pendapatan), tetapi sangat kaya karena ada warisan keluarga. Banyak
pengusaha muda dari tingkat pendapatanya tidak terlalu berlebihan, tetapi
mereka sangat kaya karena perusahaan tempat mereka bekerja adalah milik mereka
(orang tuanya).
Penggunaan data pengeluaran
konsumsi rumah tangga akan menghasilkan data pendapatan yang underestimate
karena jumlah pendapatan bia lebih besar, sama, atau lebih kecil dari pada
jumlah pengeluaran konsumsi. Misalnya pendapatan lebih besar tidak selalu
berarti pengeluaran konsumsi juga besar, berarti ada tabungan. Dalam hal ini
belum tentu juga bila pendapatan rendah tidak selalu jumlah konsumsi juga
rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit untuk membiayai pengeluran konsumsi
tertentu, misalnya untuk membeli rumah dan mobil untuk biaya sekolah anak, atau
bahkan untuk liburan.
Keberhasilan pembangunan di
Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara
agregat atau perkapital, tetapi juga dilihat dari distribusi peningkatan
pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat
pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10%
saja dari jumlah penduduk di tanah air yang manikmati 90% dari jumlah
pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10& dari
pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut,
sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi
dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil
sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin
dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat ini yang mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang mendukung pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program keluarga berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.
Sejak akhir tahun 1970-an, pemerintah maulai memperliatkan kesugguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk ditanah air. Sejak itu aspek pemerataan dalam triologi pembangunan semakin ditekankan dan didefinisikan dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program pemerintahan hingga saat ini yang mecerminkan upaya tersebut, seperti program serta kebijakan yang mendukung pembangunan industri kecil dan rumah tangga serta koperasi, khususnya dipedesaan, inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera, program keluarga berencana (KB), program maka tambahan bagi anak sekolah dasar, program transmigrasi, peningkatan upah minimum regional (UMR), dan masih banyak lagi.
Menurut kriteria Bank Dunia, secara
umum tingkat kesenjangan dalam distibusi pendapatan di Indonesia selama kurun
waktu 1984-1993 tergolong rendah, baik didaerah pedesaan maupun daerah
perkotaan yang ditunjukan oleh besarnyapersentase pendapatan yang dinikmati
oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan rendah. Bagi kelompok penduduk 20%
berpendapatan tinggi, besar pendapatanya yang diterima justru mengalami
penurunan. Penurunan pangsa pendapatan ini karena laju pertumbuhan pendapatan
kelompok penduduk 40% berpendapat rendah dan 40% berpendapat menengah lebih
besar dari pada laju pertumbuhan pendapatan kelompok penduduk 20% berpendapat
tinggi.
Tingkat pemerataan pendapatan di
daerah pedesaan yang relatif lebih baik dari pada didaerah perkotaan juga
terjadi hamper disemua propinsi di Indonesia. Semakin buruknya distribusi
pendapatan di daerah perkotaan dibandingkan didaerah pedesaan terutama
disebabkan oleh pola perekonmian dan jumlah serta kondisi sarana dan prasarana
pendukung kegiatan ekonomi sangat berbeda antara pedesaan dan perkotaan.
Dikota, Jakarta misalnya persaingan dalam dunia usaha dan dalam mendapatkan pekerjaan
semakin keras. Jumlah manusia di Jakarta semakin banyak, diperkirakan sekitar
sepuluh juta orang, yang sebagian disebabkan oleh orang-orang yang terus datang
ke Jakarta terutama yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Sementara kemanapun
ekonomi Jakarta untuk memberi pekerjaan bagi pencari kerja yang bertambah jumlahnya
setiap tahun terbatas.
Terjadi perpindahan surplus tenaga
kerja dari desa ke kota. Mereka tidak bisa ditampung disektor formal akhirnya
masuk ke sector informal yang pada umumnya merupakan kegiatan ekonomi dengan
tingkat produktivitas dan pendapatan rendah. Karena terlalu banyak orang yang
mau bekerja disektor formal, sedangkan daya tampung sektor tersebut terbatas
maka semakin berat seleksi penerimaan pekerja. Pendidikan atau keterampilan
khusus menjadi salah satu kriteria utama dalam seleksi tenaga kerja disektor
formal. Jumlah penganggruan, terutama setengah pengangguran, semakin tinggi,
dan kesenjangan antara kelompok masyarakat yang mempunyai kesempatan bekerja
disektor formal dan kelompok masyarakat yang hanya bisa bekerja disektor
informal atau yang tidak memiliki pekerjaan semakin besar.
No comments:
Post a Comment